Rabu, 05 Maret 2014

Understanding Your Katok !!

What do you think about katok?
Ya, katok, celana dalam itu. Kenapa? Tersinggung? Merengut? Tabu? Saru? Sensitif? Hiyahh....., belum apa-apa kok udah under estimate gitu, ah...!
Let’s think together.
Mengapa katok selalu penting untuk kita kenakan? Mengapa kita perlu mencopot katok kalau lagi pengen pipis atau beol? Mengapa nggak dibalik, katok dipakai saat akan pipis atau beol dan dilepas saat akan ke kondangan, kuliah, atau kerja?
Ini baru soal mengapa ia dipakai di satu face dan dilepas di face lainnya.
Belum lagi bila diajukan pertanyaan: mengapa katok dipakai di dalam celana, rok, atau sarung? Mengapa kok nggak di pakai di luar celana? Toh, bukankah itu sama-sama bersifat dipakai? Atau, mengapa katok dikenakan dibagian celana, bukan dikaki layaknya kaos kaki atau di kepala layaknya topi?
Huahhhh..., nggak kebayang ya kalau ada orang mengenakan katok sebagai kaos kaki atau sebagai topi, lalu bepergian ke sekolah atau tempat yang umum.
Stop, jangan tertawa! Ini serius, bukan untuk bahan tertawaan. Karena ini bukan lawakan Sule, tapi ini diskusi penting untuk meluaskan cara pandang kita tentang segala persoalan dalam kehidupan ini. Hiyaahhh, langit banget deh...
Bro, tau-tau kita semua kenal katok lengkap dengan maksut dan tujuan penggunaannya. Orang kesehatan akan bilang bahwa katok penting agar sarang di dalamnya terwadahi dengan baik, tidak memicu penyakit hernia atau terpapar virus yang bertebaran di udara bebas. Orang agama akan mengatakan bahwa katok penting supaya tidak dekat pada potensi hubungan seksual bebas. Dan sebagainya.
Itulah konteks penggunaan katok yang begitu saja hadir dalam hidup kita tanpa mampu kita tolak. Wittgenstein menyebutnya language game. Segala apa yang dicerabut dari konteksnya sontak akan menjadi berantakan, kacau, dan memicu ketidaknyamanan.
Tapi, bagaimana umpama kamu lahir di suku Dani, Papua, yang tidak mengenal katok, tetapi koteka? Apakah kamu akan mengenakan katok? Apakah katok kemudian akan kamu anggap sebagai penting demi menjaga kesehatan, menghadirkan rasa pede, dan tidak dekat dengan hubungan seks bebas?
Owww nooo...!
Koteka bagi suku Dani adalah konteks mereka sendiri, dan seperti itulah mereka hidup dan mengekspresikan dirinya dihadapan dunia ini.
Konteks, ya konteks. Jangan lupakan konteks, dan ingat selalu bahwa konteks itu bukan hanya konteksku, konteksmu, dan konteksnya.
Setiap konteks mencerminkan kehidupan itu sendiri, mulai soal paham budaya, sosial, hingga agama. Luasnya konteks itu seluas langit kehidupan. Dan jika ada sebuah tangan yang ambisius untuk merangkum konteks-konteks itu ke dalam sebuah konteks saja, maka sungguh itu sama halnya dengan mencoba menggenggam langit seorang diri.
Mungkinkah? So, jika kamu ingin menjadi pelopor baru terhadap perubahan konteks di sekitar kehidupanmu, niscaya kamu akan bertabrakan dengan tembok-tembok kokoh pelindung konteks itu.
Jika katokmu ingin kamu kenakandi kepalamu sebagai ekspresimu sendiri untuk mengubah fungsi sebuah katok, niscaya kamu akan bertabrakan dengan abrekan mata dan cibiran sinis. Mengapa itu bisa terjadi? Karna kamu melawan konteks yang melingkari kehidupanmu. Apakah itu salah? Owww, tidak, ini bukan tentang benar atau salah, tapi tentang keselarasan hidupmu di hadapan konteksmu sendiri, yang bila itu diabaikan, maka akan memicu kerancuan makna eksistensimu sendiri.
Superman tidak pernah divonis bersalah gara-gara dia mengenakan katok diluar celananya kok. Tetapi ia tak pernah ditiru. Kamu pun boleh kok sekolah tanpa mengenakan katokmu, tapi kamu tidak akan dinyatakan “menakjubkan”, apalagi ditiru. Kamu boleh saja memasang katokmu disaat akan pipis atau beol, tetapi kamu tidak akan pernah mendapatkan penghargaan Nobel apapun untuk pelanggaran konteksmu.
So, jika kamu ingin nyaman, selaras dalam eksitensismu, ikutilah konteks kehidupanmu. Jika kamu ingin keluar dari konteks kehidupanmu, dengan alasan apapun, maka keluarlah terlebih dahulu dari kehidupan yang memberimu konteks itu.
So what ?
Konteks mengajarkan bahwa katok dipakai didalam celana, rok, dan sarung bukan diluarnya, apalagi dikaki dan kepala. Maka, caramu menggunakan katok itu sebaiknya selaras dengan konteks kehidupan sekitarmu.
Konteks juga mengajarkan bahwa seorang wanita kamu nikahi sebagai istri dan pendamping hidupmu, yang sejajar, dialogis, bukan sebagai pembantu,pembokat ,apalagi budakmu. Maka pergunakanlah istrimu dengan konteks kehidupan menurutmu.
Haaa....., pergunakanlah istrimu sebaiknya, sebagaimana pergunakanlah katok sebaiknya....! Opoooo ikiii..? Weslah gitu yooo cara memahami katok, ehh konteks...
Peace....!

1 komentar:

Yan Aditya mengatakan...

Postingannya bagus! Jempol buat kamu. :)